
A man is holding a mug of coffee. Italian style
Setelah dua puluh tahun menikah, Dani dan Sari menjalani kehidupan yang sederhana di sebuah kota kecil. Dani adalah seorang guru SMA, sementara Sari mengelola toko bunga kecil di depan rumah. Kehidupan mereka tidak mewah, tapi penuh dengan kehangatan.
Setiap pagi, Dani selalu membuatkan secangkir teh untuk Sari sebelum ia pergi ke sekolah. Bukan karena tehnya istimewa, tapi karena itu kebiasaan kecil yang tak pernah ia lewatkan sejak hari pertama mereka menikah. Teh itu menjadi simbol cinta dalam diam—tanpa perlu kata-kata manis setiap hari.
Namun, suatu hari Sari jatuh sakit. Bukan demam biasa, melainkan penyakit yang membuatnya harus beristirahat lama. Toko bunganya tutup, dan rumah menjadi lebih sepi dari biasanya.
Dani tetap membuatkan teh setiap pagi, lalu meletakkannya di samping ranjang. Sari sering hanya menatapnya, terlalu lelah untuk minum. Tapi Dani tidak pernah berhenti membuatkan teh itu.
Suatu pagi, Sari memegang tangan Dani dengan lemah. “Terima kasih sudah tetap buatkan tehnya,” bisiknya. “Aku tidak selalu bisa meminumnya, tapi aku selalu merasakannya… cintamu.”
Dani tersenyum kecil, matanya berkaca-kaca. “Aku hanya ingin kau tahu, aku selalu di sini. Bahkan kalau kau tak sanggup bicara, tak sanggup tersenyum, teh ini akan tetap ada.”
Mereka saling diam dalam keheningan yang penuh makna. Dan di pagi itu, untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, Sari menyesap tehnya perlahan.