
Di sebuah desa kecil di pinggiran Kota Medan, seorang duda bernama Samsul (58) menjadi perbincangan hangat warga sekitar. Sejak kepergian istrinya tiga tahun lalu, keseharian Samsul berubah drastis. Rumah yang dulu ramai kini sunyi, hanya suara radio tua yang menemaninya setiap malam.
Samsul dulunya dikenal sebagai sosok humoris dan rajin membantu tetangga. Namun kini, ia lebih sering duduk di teras sambil menatap jalanan yang sepi. “Kalau sore, saya ke warung kopi biar ada yang diajak ngobrol. Kalau di rumah terus, rasanya sepi sekali,” ujarnya dengan senyum tipis.
Pemilik warung kopi, Pak Rahman, mengatakan bahwa hampir setiap hari Samsul datang menjelang magrib. “Dia suka duduk di pojok sambil pesan kopi hitam. Kadang ngobrol soal sepak bola, kadang cuma diam sambil denger orang cerita,” tuturnya.
Meski hidup sendiri, Samsul tetap berusaha tegar. Ia berharap suatu hari nanti bisa menemukan teman hidup yang bisa diajak berbagi cerita lagi. “Saya nggak nyari yang muda, cukup yang mau duduk bareng minum kopi sore-sore,” katanya lirih.
Cerita Samsul menjadi pengingat bahwa kesepian bisa datang di usia berapa pun, dan kadang, yang paling dibutuhkan bukanlah kemewahan—melainkan sekadar kehadiran seseorang untuk mendengarkan.